tempo.co - 05/07/2017
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah area padat di kawasan Tebet Timur, Jakarta Selatan, sebuah rumah mungil berdiri dan mencuri perhatian. Luas tanahnya hanya 90 meter persegi. Panjangnya 15 meter dan lebarnya 6 meter.
Tampak dari depan terdiri atas dua lantai, tapi dari belakang tiga lantai. Malah, kalau dari dalam, orang bisa saja mengira rumah milik pasangan Firman Astrea Kusnaedi dan Desiree Chatra itu terdiri atas lima lantai karena bangunan ini mempunyai lantai mezanin.
Meski tergolong rumah kecil, pasangan muda tersebut berhasil mengakali ruang terbatas dengan konsep split level sehingga membuat rumah terlihat lebih besar dan luas. “Rumah ini dinamai splow house, nama yang diberikan arsitek dari Delution, singkatan dari split and grow,” kata Firman kepada Tempo.
Konsep grow mewakili kondisi keterbatasan dana pada awal pembangunan rumah. Secara konsep, rumah ini terdiri atas tiga lantai. Namun sesungguhnya hingga saat ini rumah belum selesai dibangun. “Lantai 2 dan 3 di bagian belakang belum dibangun sama sekali,” ujarnya. Meski demikian, rumah tersebut sudah bisa dihuni dan pembangunan dapat dilanjutkan sewaktu-waktu saat sudah ada dana tambahan.
Selain meminta konsep untuk mengakali ruang, Firman menginginkan agar rumah itu memiliki pengaturan cahaya dan ventilasi yang natural. Harapannya, agar pada siang hari rumah bisa terang tanpa lampu dan aliran udara terasa segar.
Jendela besar di depan rumah menjadi salah satu sumber pencahayaan yang memanfaatkan sinar matahari. Konsep hemat energi secara umum memang diterapkan Delution dalam setiap rancangan bangunan dibuat.
Kendala dan keinginan Firman beserta istrinya terhadap calon hunian mereka diterjemahkan Delution Architecture, yang menggarap pengerjaan rumah tersebut. Menurut Muhammad Egha, pendiri Delution, konsep rumah digagas berdasarkan masalah kliennya. “Dari masalah berbeda, akan muncul ide berbeda. Kalau kliennya punya tanah luas dan dana besar, tentu rumah yang dibangun tak seperti itu,” ucapnya.
Konsep rumah yang dibuatnya tersebut, kata Egha, tampaknya menjawab pula kebutuhan masyarakat perkotaan yang memiliki dana dan tanah terbatas. Karena itu, wajar rumah itu menuai banyak respons saat pertama kali dipublikasikan.
Apalagi saat splow house mendapat penghargaan International Architizer A+ Awards 2017 untuk kategori arsitektur dan hunian kecil versi Public Choice. Ini merupakan sebuah penghargaan international yang tak hanya melibatkan komunitas arsitektur, melainkan juga busana, penerbitan, desain produk, pengembangan perumahan, dan teknologi dunia.
“Panggilan telepon, e-mail menumpuk berisi pujian, serta pertanyaan dan pesanan membangun rumah ala splow house,” tuturnya. Pembangunan rumah yang dimulai awal 2015 ini, menurut dia, seharusnya menghabiskan dana hingga Rp 700 juta. Namun pembangunannya sudah dihentikan pada angka Rp 500 juta.
Lantas seperti apa penampakan rumah yang viral di media sosial ini? Dari pintu luar, Anda akan langsung masuk ke ruang tamu dan berhadapan dengan lantai menurun menuju dapur yang terhubung ke kamar tamu dan WC. Ubin marmer abu-abu mengisi lantai di area tersebut. Furnitur ruang terbuat dari material kayu sintetis. Sedangkan semua ruangan dicat putih guna memaksimalkan penerangan.
Naik ke lantai berikutnya, Anda bisa tersambung dengan kamar anak dan tangga berikutnya mengantarkan ke kamar utama. Di setiap lantai, ada koridor yang dapat dimanfaatkan untuk menyimpan barang atau arena bermain anak.
Rumah memanjang seperti ini cukup banyak diakali dengan menyediakan meja lipat dan rak penyimpanan di bagian anak tangga. Egha dan tim pun mengantisipasi penyediaan tempat penyimpanan dengan konsep tarik-pasang sehingga meja bisa disembunyikan kalau tak diperlukan. “Rumah ini dari luar tak terlihat memiliki bagian dalam yang cukup heboh,” katanya.
Halaman yang sempit di samping rumah pun dijadikan wadah sirkulasi udara untuk membuat rumah terasa lebih sejuk. Masih di area halaman kecil ini, menurut Egha, dibuat beberapa lubang biopori untuk mengantisipasi banjir.
Banjir atau genangan air mendapat perhatian khusus karena lantai dasar posisinya lebih rendah dari permukaan jalan di depan rumah. Pembuatan biopori juga bertujuan menjadikan rumah sebagai area resapan air. “Air mengalir ke taman, bukan dibuang ke got. Kami mengupayakan air kembali ke asalnya,” ujarnya. Butuh waktu 10 bulan bagi Egha dan tim merealisasikan pembangunan splow house.
Article Link : https://cantik.tempo.co/read/888991/rumah-tumbuh-kaum-urban-ruang-sempit-terasa-lapang